Sudah dua minggu ini kami berdebar-debar. Teruskah? Ditolakkah? Disetujuikah?
Tim kami bekerja keras untuk itu. Sepotong email kemudian muncul tiga hari lalu: setuju!
Horeeee.
Rasanya kami semua ROTFL!
Yang
kami tunggu adalah ini: apakah perusahaan Amerika Serikat itu
menyetujui kerja sama dengan BUMN untuk satu hal yang amat strategis.
Yakni bersama-sama mengolah neutron menjadi produk kedokteran nuklir,
dan akhirnya kelak juga mengolahnya menjadi listrik.
Tim BUMN
dipimpin Direktur Utama PT Inuki (Persero) Dr Ir Yudiutomo Imardjoko.
Inuki adalah kependekan Industri Nuklir Indonesia, nama baru untuk PT
Batan Teknologi.
Tim itu dibantu oleh pimpinan PT INACA, anak
perusahaan PT Dirgantara Indonesia di Amerika Serikat. Lalu diperkuat
oleh Direktur Utama PT Bahana (Persero) Dwina S Wijaya, beserta anak
buahnya. Bahana adalah BUMN yang bergerak di bidang keuangan.
"Kami
sangat beruntung bisa mendapat persetujuan dari perusahaan di AS ini,"
ujar Yudiutomo yang ahli nuklir lulusan UGM dan ahli sampah nuklir
lulusan AS itu.
Beruntung? Saya tidak setuju dengan kata-katanya itu. Itu bukan karena beruntung.
Itu
hasil dari sebuah totalitas usaha. Itu buah dari gabungan antara
"keahlian, kerja keras, pantang menyerah, anti frustrasi, tekun,
telaten, diiringi dengan jalan yang penuh keprihatinan".
"Jalan penuh keprihatinan" saya masukkan di situ karena semua itu awalnya dari sikap prihatin.
Prihatin
karena reaktor nuklir di Serpong yang sudah tua itu sering rusak
sehingga tidak bisa memproduksi neutron secara kontinyu.
Prihatin
karena reaktor itu milik lembaga negara, BATAN, yang itu di luar
wewenang BUMN untuk ikut mengatasi. Apalagi PT Inuki sendiri baru saja
keluar dari kesulitan keuangan yang amat panjang.
Sampai-sampai
PT Inuki harus bekerjasama dengan Mesir untuk jaga-jaga kalau reaktor
BATAN yang di Serpong terus mengalami gangguan.
Prihatin karena
PT Inuki sudah terlanjur mengikat kontrak untuk ekspor radioisotop ke
berbagai negara yang tidak mampu membuatnya seperti Singapura, Malaysia,
dan beberapa negara lainnya.
Prihatin karena membayangkan
rumah-rumah sakit akan mengalami krisis radioisotop karena tidak
cukupnya bahan baku berupa neutron itu. Padahal ilmu kedokteran sekarang
sudah amat terikat dengan radioisotop untuk proses MRI dan pendeteksian
berbagai penyakit.
Saya pun sempat memutuskan untuk membangun
reaktor nuklir yang akan dimiliki oleh PT Inuki sendiri. Apalagi
kemajuan teknologi nuklir sudah amat berbeda dengan zaman reaktor
Serpong itu dibangun 30 tahun lalu.
Menurut Yudiutomo dia bisa
membangun reaktor yang ukurannya hanya seperlima dari yang ada di
Serpong, tapi memiliki kemampuan produksi 20 kali lipatnya.
Tapi,
untuk mempersiapkan itu, Yudiutomo dan timnya harus mondar-mandir ke
Amerika Serikat, Rusia, dan Eropa. Padahal perusahaannya tidak punya
uang untuk keperluan itu.
Sebagai perusahaan kecil yang baru
hidup lagi, uangnya hanya pas-pasan untuk mempertahankan operasionalnya
sehari-hari. Tidak boleh ada biaya perjalanan yang bisa mengganggu
kelancaran operasional perusahaan.
Tapi cita-cita tidak boleh
kandas. Harus ada cara untuk mencapainya. Biar pun harus lewat jalan
yang berliku. Untuk itu tim Inuki harus "ngamen" lebih dulu.
Kebetulan
BUMN memiliki program pengentasan kemiskinan di NTT melalui tanaman
sorgum. Para ahli Inuki harus mau jadi penyuluh lapangan, tinggal di NTT
beberapa bulan, dan membina anak-anak SMK setempat untuk menciptakan
mesin-mesin sederhana pengolahan sorgum.
Untuk itu mereka
mendapatkan "upah". Memang tidak besar tapi bisa untuk ke Amerika. Hasil
dari "ngamen" inilah yang dipakai membeli tiket untuk pergi ke sana melakukan penjajagan kerjasama membangun reaktor.
Saya
sebenarnya tidak tega untuk minta para ahli yang langka itu harus
"ngamen" sampai ke NTT. Tapi saya juga percaya tidak ada jalan mudah
untuk mencapai cita-cita. Saya tidak bisa memerintahkan untuk
menggunakan dana perusahaan di luar yang sudah ditentukan.
Saya
juga tidak mau minta sumbangan ke BUMN lain yang besar-besar, karena
saya tahu tidak ada pos pengeluaran untuk yang demikian.
Maka
saya salut dengan tim Inuki yang mau menempuh jalan berliku ini.
Sekalian tes ketahanan, pikir saya. Untuk mengejar kemajuan harus
bersedia bekerja seperti itu.
Inilah yang saya sebut "jalan
keprihatinan". Jalan itu, kalau bisa ditempuh dengan tulus, justru akan
menjadi pendorong untuk tercapainya cita-cita. Ia menjadi semacam
"tenaga dalam" yang memang tidak kelihatan tapi bisa menjadi faktor
utama tercapainya sebuah sukses.
Dari beberapa perjalanan ke AS,
Rusia, dan Eropa itulah akhirnya Yudiutomo menemukan sesuatu yang
ternyata jauh di atas sebuah reaktor nuklir. Dia berhasil mengetahui
sebuah penemuan yang masih sangat baru. Belum banyak yang tahu: untuk
memproduksi neutron tidak harus membangun reaktor nuklir! Bisa melalui
fusi plasma!
Dia sendiri, sebagai anggota aktif dari asosiasi ahli nuklir dunia, tidak menyangka ada penemuan sehebat dan semaju itu.
Memang
pernah diramalkan ilmu pengetahuan akan sampai di sana. Tapi menurut
perkiraan para ahli hal itu baru akan terjadi tahun 2050!
Setelah
tahu perkembangan baru itu target pun diubah. Bukan lagi membangun
reaktor baru, tapi bagaimana bisa menggandeng perusahaan penemu
tersebut. Tapi apa mungkin?
Yudiutomo punya kelebihan dibanding
calon partner lainnya dari seluruh dunia. Dia punya keahlian untuk
memproses neutron itu menjadi radioisotop dengan proses yang diizinkan
oleh kesepakatan dunia. Yakni sebuah proses yang tidak membahayakan
dunia karena tidak memungkinkan berubah menjadi senjata nuklir.
Di seluruh dunia, hanya putra Indonesia Yudiutomo yang bisa melakukan itu. Perusahaan Amerika itu pun tidak bisa melakukannya.
Yudi
memang satu-satunya ahli nuklir di dunia yang mampu memproses neutron
dan uranium dengan sistem yang tidak memungkinkan bahan itu menjadi
senjata nuklir.
Tapi perjuangan tentu tidak mudah. Bagaimana bisa
sebuah BUMN Indonesia mengajak kerja sama penemu yang begitu hebat di
Amerika. Berkali-kali saya rapat dengan Inuki dan Bahana merumuskan
strateginya.
Alhamdulillah, setelah berbagai pertemuan dan
diskusi (langsung maupun via email) dilakukan antarnegara, tiga hari
lalu jawaban itu tiba: pihak Amerika setuju. Rincian kerjasamanya juga
sudah disertakan.
Tanggal 16 Juni mendatang, setengah bulan
lagi, penandatanganan dilakukan di Madison, Wisconsin, AS. Saya sengaja
belum tuliskan banyak detil di sini karena untuk itu akan ada waktunya
sendiri.
Saya benar-benar tidak setuju bahwa ini sebuah
keberuntungan. Saya lebih setuju dengan Paulo Coelho yang dalam
novel-novel spiritualnya menyiratkan, justru keberuntunganlah yang
selalu mencari-cari orang yang bersedia dicipratinya.
Tapi,
sayangnya, "dia" hanya mau mencipratkannya kepada orang-orang yang kuat
berjalan jauh dengan totalitas dan ketulusan penuh untuk mendatanginya!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Kolom Dahlan Iskan : ROTFL yang terjadi setelah ngamen"
Post a Comment