Penyakit mental yang paling berbahaya yang diwariskan semasa zaman Penjajahan (1600-1945) adalah watak inlander dimana warga pribumi selalu dijadikan kelas paling bawah diantara golongan masyarakat Eropa, Arab dan Cina. Kekalahan yang diderita selama ratusan tahun telah membentuk watak pecundang bagi sebagian besar penduduk di Nusantara.
Mental Inlander ditandai dengan tidak dimilikinya rasa percaya diri sebagai sebuah bangsa, memandang bangsa lain jauh lebih hebat dan maju. Tidak mampu membaca potensi bangsa yang begitu besar, bahkan berpikiran picik menyerahkan pengelolaan kekayaan bangsa kepada pihak lain karena menganggap bangsa ini tidak akan mampu mengatur dirinya sendiri.
Walaupun bangsa ini sudah mendeklarasikan kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945, namun penyakit inlander tidak serta merta hilang dari bumi pertiwi. Mari kita lihat bagaimana sistem politik dan ketatanegaraan kita masih belum menemukan jatidirinya. Berbagai sistem politik pernah dijalankan di bangsa ini mulai dari sistem demokrasi liberal (parlementer tahun 1949-1959), demokrasi terpimpin (tahun 1959-1965), sistem otoritarian (zaman orba tahun 1965-1998) hingga demokrasi multi partai (masa Reformasi 1998-sekarang). Watak inlander membuat bangsa ini gagal menemukan sistem ketatanegaraan yang sesuai dengan Keindonesiaan. Sampai saat ini masih dirasakan adanya adopsi sistem ketatanegaraaan yang kebarat-baratan.
Pada aras ekonomi sungguh tampak nyata betapa banyak perusaahaan asing yang bergerak di bidang pertambangan, telekomunikasi, transportasi, perkebunan, perikanan hingga pertanian. Cita-cita membangun ekonomi rakyat yang mandiri dan kuat sebagaimana harapan founding fathers seakan hanya mimpi yang tak kunjung tercapai. Nasib bangsa masih tidak jauh berbeda dengan masa penjajahan, kue pembangunan hanya dinikmati segelintir priyayi sementara rakyat sebagai kawula alithanya mendapatkan sisa-sisa pembangunan. Lagi-lagi ini dikarenakan watak inlander yang masih menggerogoti para pengusaha nasional sehingga industri nasional tidak pernah menjadi tuan di negeri sendiri.
Dalam hal sosial budaya berkembang fenomena konsumerisme yang menggejala di seluruh pelosok nusantara. Bangsa yang memiliki penduduk lebih dari 230 juta ini hanya dijadikan sasaran iklan produk asing, baik produk yang berupa barang maupun jasa. Bisa dilihat mental anak bangsa bekas jajahan ini begitu bangga bergaya kebara-baratan, ke arab-araban, kecina-cinaan, atau apapun produk yang dari luar. Ini sungguh sangat membahayakan bangsa, sebab jika dibiarkan bangsa ini benar-benar akan menjadi bangsa kuli, bangsa pemasok tenaga kerja murah, bahkan dimungkinkan akan menjadi bangsa bermental budak di zaman modern.
Rasanya memang pahit kalau kita mengatakan bahwa bangsa ini masih terkena penyakit mental inlander, tetapi kenyataan di lapangan tak bisa kita pungkiri. Dalam sejarahnya perubahan untuk menjadikan mental bangsa yang kalah menjadi bangsa yang pemenang memang tidak mudah dan butuh waktu yang relatif lama. Jika mau belajar dari para nabi-nabi atau dari para revolusioner di muka bumi ini, maka pembenahan harus dimulai dari penyadaran melalui pendidikan yang mencerahkan untuk pemimpin dan rakyatnya. Harus ada rekayasa sosial untuk generasi muda agar mereka menemukan jatidiri bangsa yang tercermin dalam nilai-nilai pancasila. Religiusitas, humanisme , nasionalisme, demokrasi, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia harus menjadi fondasi dalam menentukan arah nahkoda kapal dalam mengarungi samudra yang penuh tantangan besar ini.
Tak ada sesuatu yang tidak mungkin, jika bangsa ini mau bekerja keras menggapai cita-citanya. Memang tidak mudah, tapi kita harus yakin dengan tujuan hidup berbangsa dan bernegara..
Jayalah Terus Nusantara!!!
sumber
Mental Inlander ditandai dengan tidak dimilikinya rasa percaya diri sebagai sebuah bangsa, memandang bangsa lain jauh lebih hebat dan maju. Tidak mampu membaca potensi bangsa yang begitu besar, bahkan berpikiran picik menyerahkan pengelolaan kekayaan bangsa kepada pihak lain karena menganggap bangsa ini tidak akan mampu mengatur dirinya sendiri.
Walaupun bangsa ini sudah mendeklarasikan kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945, namun penyakit inlander tidak serta merta hilang dari bumi pertiwi. Mari kita lihat bagaimana sistem politik dan ketatanegaraan kita masih belum menemukan jatidirinya. Berbagai sistem politik pernah dijalankan di bangsa ini mulai dari sistem demokrasi liberal (parlementer tahun 1949-1959), demokrasi terpimpin (tahun 1959-1965), sistem otoritarian (zaman orba tahun 1965-1998) hingga demokrasi multi partai (masa Reformasi 1998-sekarang). Watak inlander membuat bangsa ini gagal menemukan sistem ketatanegaraan yang sesuai dengan Keindonesiaan. Sampai saat ini masih dirasakan adanya adopsi sistem ketatanegaraaan yang kebarat-baratan.
Pada aras ekonomi sungguh tampak nyata betapa banyak perusaahaan asing yang bergerak di bidang pertambangan, telekomunikasi, transportasi, perkebunan, perikanan hingga pertanian. Cita-cita membangun ekonomi rakyat yang mandiri dan kuat sebagaimana harapan founding fathers seakan hanya mimpi yang tak kunjung tercapai. Nasib bangsa masih tidak jauh berbeda dengan masa penjajahan, kue pembangunan hanya dinikmati segelintir priyayi sementara rakyat sebagai kawula alithanya mendapatkan sisa-sisa pembangunan. Lagi-lagi ini dikarenakan watak inlander yang masih menggerogoti para pengusaha nasional sehingga industri nasional tidak pernah menjadi tuan di negeri sendiri.
Dalam hal sosial budaya berkembang fenomena konsumerisme yang menggejala di seluruh pelosok nusantara. Bangsa yang memiliki penduduk lebih dari 230 juta ini hanya dijadikan sasaran iklan produk asing, baik produk yang berupa barang maupun jasa. Bisa dilihat mental anak bangsa bekas jajahan ini begitu bangga bergaya kebara-baratan, ke arab-araban, kecina-cinaan, atau apapun produk yang dari luar. Ini sungguh sangat membahayakan bangsa, sebab jika dibiarkan bangsa ini benar-benar akan menjadi bangsa kuli, bangsa pemasok tenaga kerja murah, bahkan dimungkinkan akan menjadi bangsa bermental budak di zaman modern.
Rasanya memang pahit kalau kita mengatakan bahwa bangsa ini masih terkena penyakit mental inlander, tetapi kenyataan di lapangan tak bisa kita pungkiri. Dalam sejarahnya perubahan untuk menjadikan mental bangsa yang kalah menjadi bangsa yang pemenang memang tidak mudah dan butuh waktu yang relatif lama. Jika mau belajar dari para nabi-nabi atau dari para revolusioner di muka bumi ini, maka pembenahan harus dimulai dari penyadaran melalui pendidikan yang mencerahkan untuk pemimpin dan rakyatnya. Harus ada rekayasa sosial untuk generasi muda agar mereka menemukan jatidiri bangsa yang tercermin dalam nilai-nilai pancasila. Religiusitas, humanisme , nasionalisme, demokrasi, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia harus menjadi fondasi dalam menentukan arah nahkoda kapal dalam mengarungi samudra yang penuh tantangan besar ini.
Tak ada sesuatu yang tidak mungkin, jika bangsa ini mau bekerja keras menggapai cita-citanya. Memang tidak mudah, tapi kita harus yakin dengan tujuan hidup berbangsa dan bernegara..
Jayalah Terus Nusantara!!!
sumber
0 Response to "Mental Inlander, Penyakit Paling Indonesia"
Post a Comment