RI = Republik Impor
Seperti diduga sebelumnya, kenaikan harga BBM berakibat pada kenaikan harga bahan pokok. Pemerintah pun kalang kabut menyelesaikan persoalan ini. Keran impor langsung dibuka sekencang-kencangnya. Kebijakan yang, sayangnya, justru menunjukkan absennya koordinasi antarkementerian terkait.
Akibatnya, impor yang terlambat tidak dapat menyelamatkan harga kebutuhan pokok yang kadung naik. Pemerintah sibuk berdebat soal transportasi dan perizinan, masalah yang seharusnya selesai jauh-jauh hari. Namun, sesuatu yang lebih fundamental adalah ihwal tanggung jawab pemerintah mempertahankan pasokan pangan bagi warganya. Ini bukan persoalan ekonomi (efisiensi) semata, melainkan politik (keadilan).
Republik pemasok
Republik bukan sekadar teritori yang dijaga tentara, melainkan entitas yang memiliki tanggung jawab etis terhadap keadaban warganya. Keadaban di seantero jagat ini senantiasa berkelindan dengan urusan perut. Ketersediaan kebutuhan pokok adalah pangkal dari masyarakat yang berkeadaban. Tanggung jawab ini sayangnya sering dipahami dalam parameter ekonomi belaka. Hukumnya berbunyi: jika terjadi kelangkaan, maka pasokan ditambah. Pasokan di sini netral secara politis. Artinya, apa pun dapat dilakukan untuk menambah pasokan, termasuk impor.
Impor adalah ekonomi jalur cepat. Tujuannya sederhana: harga stabil dan rakyat bahagia. Persoalannya, apakah kebahagiaan hanya diartikan secara sempit sebagai pemuasan keinginan? Lalu, apa bedanya dengan anak kecil yang bahagia ketika rengekannya berbuah mainan? Kebahagiaan adalah kualitas hidup yang tak sekadar terpuaskannya keinginan. Dimensi yang dimilikinya lebih dalam dari sekadar ”rasa manis di lidah ketika menjilat es krim”.
Kebahagiaan secara ekonomi diartikan sederhana: terpenuhinya permintaan oleh pasokan. Kebahagiaan adalah stabilitas harga. Untuk itu segala cara dilakukan. Hukum efisiensi pun menggariskan, apa pun boleh asal banyak dan murah. Kebijakan impor sapi Australia lebih efisien ketimbang memaksimalkan dagang antarpulau atau intensifikasi produksi sapi domestik.
Padahal, kebahagiaan tidak sesederhana itu. Ekonom Amartya Sen menolak persamaan antara kebahagiaan dan kepuasan. Alasannya dua. Pertama, orang berkecukupan memiliki patokan kebahagiaan yang tinggi dan mewah. Orang yang biasa naik sedan akan menderita begitu disuruh masuk kopaja. Kedua, mereka yang tak beruntung terbiasa menyesuaikan patokan kebahagiaannya dengan kondisi deprivasi yang dialami. Masyarakat miskin kota sudah bahagia hanya dengan makan nasi kering sehari sekali.
Kebahagiaan tak sekadar terpenuhinya keinginan (baca: kepuasan). Stabilitas harga memang membuat kebutuhan terpenuhi. Namun, dimensi lain yang tak kalah penting: keadilan. Impor daging sapi, misalnya. Kebijakan itu menguntungkan rumah potong Australia, tetapi memukul peternak dan rumah potong lokal. Impor sapi memang menyelamatkan harga, tetapi tak membuka lapangan kerja di bidang penggemukan dan pemotongan sapi. Ini juga disinsentif bagi berbagai inovasi pembiakan sapi lokal berkualitas.
Keadilan?
Kebijakan pemerintah selalu dijalankan dengan penggaris efisiensi. Itu pun dilakukan gegabah dan tambal sulam. Padahal, keadilan tak sama dengan efisiensi. Keadilan bukan hasil akhir, melainkan prosedur yang memastikan dua hal. Pertama, tak satu pun partisipan mampu mengakali prosedur demi kepentingannya. Kedua, tak ada kriteria independen yang mana prosedur keadilan mengabdi kepadanya. Kebijakan impor adalah prosedur yang mengabdi pada efisiensi sebagai kriteria independen. Dengan kata lain, daripada ribut soal nasib peternak lokal, lebih baik segera stabilkan harga.
Dalam keadilan juga termuat prinsip resiprositas. Resiprositas mengatakan bahwa peningkatan kekinian dan ekspektasi mereka yang berkecukupan mesti berkorelasi dengan peningkatan kekinian dan ekspektasi mereka yang kurang beruntung. Seorang pengusaha, misalnya, membeli mesin baru dengan fasilitas kredit lunak karena rekam jejak pembayaran yang baik. Dia berharap ada peningkatan produktivitas yang berujung pada maksimalisasi laba. Ketika pembelian mesin itu membuatnya harus memberhentikan sekian ratus pegawai, itu bertentangan dengan prinsip resiprositas. Mestinya penambahan produktivitas meningkatkan ekspektasi pegawai akan hidup lebih layak.
Kebijakan impor sapi memang lekas mengatasi kelangkaan. Namun, siapa sebenarnya diuntungkan selain importir kakap? Peternak lokal hanya bisa gigit jari menyaksikan harga sapi jatuh di pasar. Usaha penggemukan pun lesu karena impor lebih cepat, risiko kecil meski modal yang diperlukan besar. Tak ada resiprositas di situ. Berbeda jika pemerintah mengimpor sapi hidup. Memang ini lambat dan berisiko. Namun, kebijakan ini minimal masih menghidupi rumah potong lokal dan para pekerjanya. Isu kekejaman rumah potong di Indonesia sengaja diembuskan agar keran impor daging sapi Australia dibuka kembali.
Di republik tukang impor, pertimbangan keadilan senantiasa dipinggirkan atas nama efisiensi. Pemerintah sepertinya bekerja dengan prinsip ”asal cepat selesai” sehingga dampak politis bisa lekas diminimalkan. Padahal, banyak alternatif kebijakan yang bisa diambil. Intensifikasi perdagangan antarpulau, misalnya. Persediaan sapi di Indonesia bagian timur tidak terkira besarnya. Namun, transportasi dan infrastruktur selalu menjadi kendala. Ketersediaan kapal, pelabuhan, cold storage, jalan penghubung rumah potong dengan pelabuhan. Semua itu harus disiapkan untuk mengatasi problem kelangkaan di kemudian hari.
Pemerintah pun harus berinvestasi di bidang pembiakan dengan memanfaatkan ahli peternakan terbaik di republik ini. Ciptakan benih yang cepat gemuk, daya tahan tinggi, dan kualitas daging baik. Setiap pemerintah daerah harus diikutkan dalam program ini. Tujuannya, menyediakan benih yang baik dan murah bagi peternak lokal. Ini tak bisa dalam hitungan hari seperti mendatangkan daging sapi dengan pesawat udara. Namun, ini langkah yang harus diambil bila pemerintah republik ini ingin pensiun sebagai tukang impor dan belajar menyelenggarakan negara secara lebih berkeadaban. Selamat mencoba!
Donny Gahral Adian, Dosen Filsafat UI
sumber
0 Response to "RI = Republik Impor"
Post a Comment