Satu lagi BUMN yang sudah lama mati bisa hidup lagi: PT Djakarta Lloyd.
Minggu lalu sebuah pesta kecil diselenggarakan di hotel Pullman Jakarta
untuk syukuran.
Selama ini sulit sekali mencari jalan keluar
menghidupkan perusahaan pelayaran yang pernah memiliki kelompok musik
legendaris D'Lloyd itu.
Pernah saya ingin menghidupkannya dengan
cara membelikannya kapal. Agar bisa mulai berusaha lagi. Tapi takut:
jangan-jangan begitu kapal itu dibeli dan diserahkan ke PT Djakarta
Lloyd langsung hilang. Disita orang.
Itu karena DL memiliki utang lebih dari Rp 1,3 triliun. Mereka itulah yang telah menyita kapal-kapal DL satu per satu.
Terakhir
dua kapalnya yang masih tersisa dan sedang diperbaiki di Singapura,
disita orang pula di sana. Habis. Ludes. Perusahaan perkapalan ini tidak
punya kapal sama sekali.
Ketika saya mulai menjadi menteri,
direktur DL tinggal satu: Syahril Japarin. Sebelumnya Syahril sudah
memiliki posisi yang mapan sebagai dirut perusahaan air minum di
Jakarta. Tapi ketika menteri BUMN sebelum saya menawarinya untuk
menyelamatkan DL, Syahril tertantang.
Syahril sering menemui saya yang waktu itu masih menjabat dirut PLN . Dia minta untuk diberi tugas mengangkut batubara PLN . Tentu tidak mungkin. Tidak memenuhi syarat.
Pengangkut batubara PLN
harus punya kapal. Apalagi, saat itu, saya lagi menerima tugas sulit
dari menteri BUMN untuk menghidupkan perusahaan perkapalan yang juga
sudah lama mati: PT Bahtera Adiguna (BAg).
Di tangan PLN akhirnya BAg bisa hidup dan kini sudah sangat sehat. Kapalnya juga sudah cukup banyak.
Saya
sungguh iba melihat orang seperti Syahril. Mau menjadi dirut sebuah
perusahaan BUMN yang sedang dalam proses tenggelam. Perusahaan itu tidak
memiliki kapal, tidak memiliki kepercayaan, dan tidak memiliki
penghasilan untuk menggaji karyawan.
Setiap hari yang datang ke kantornya adalah para pendemo: minta pembayaran gaji dan pembayaran utang.
Yang
membuat lebih sulit, administrasi di perusahaan itu sudah porak
poranda. Berkas-berkas hilang atau dihilangkan. Catatan-catatan utang
tidak dilengkapi dokumen yang memadai. Sejak tahun 2007 DL tidak pernah
diaudit. Auditor tidak bisa melakukannya. Tidak ada laporan keuangan.
Ketika
saya beralih menjabat menteri BUMN saya sudah tahu penderitaan Syahril.
Dia mempunyai jabatan keren, dirut BUMN, tapi tidak pernah menerima
gaji. Saya langsung memberikan gaji saya sepenuhnya kepada Syahril.
Jadilah dia dirut yang gajinya sebesar gaji menteri. Jangan kaget, gaji menteri itu hanya 5 persennya gaji dirut BUMN besar.
Enam
bulan lamanya Syahril "bergaji menteri", sampai akhirnya perusahaan
yang dia pimpin mulai sedikit-sedikit dapat penghasilan.
Ketika
Syahril kemudian diangkat menjadi Dirut Pelni, DL dipimpin satu orang
saja: Arham S Toriq. Dia seorang akuntan yang juga tertantang untuk
meneruskan penyelamatan DL.
Arham berpikir tidak mungkin DL bisa
selamat kalau utang Rp 1,3 triliun tidak diselesaikan. Arham ingin DL
segera punya kapal. Tapi mustahil. Uttang harus diselesaikan dulu.
Maka
Arham menempuh jalan KPKU. Berhasil. KPKU memutuskan semua utang DL
dialihkan menjadi saham. Dengan status saham yang tidak memiliki hak
suara. Diputuskan pula, DL akan mencicil utang itu selama 18 tahun,
dengan masa tenggang lima tahun.
Dengan keputusan KPKU seperti itu buku DL menjadi bersih!
Cara
penyelesaian utang yang ditempuh Arham itu baik. Saya memang berkeras
tidak mau negara harus menyelamatkan DL. Misalnya dengan cara Penyertaan
Modal Negara (PMN). Bahkan, kalau memang harus mati, mati saja.
Dengan sikap saya seperti itu akhirnya pemilik piutang memilih perusahaan harus tetap hidup dengan cara restrukturisasi utang.
Cara
seperti itu pulalah yang telah saya pakai untuk menyelamatkan PT Istaka
Karya tahun lalu. PT Istaka yang juga terbelit utang di luar
kemampuannya akhirnya terancam mati. Saya juga berkeras tidak mau ada
PMN. Kalau mau mati, mati saja.
Usaha restrukturisasi pun akhirnya dilakukan. Ternyata berhasil. PT Istaka Karya kini hidup lagi. Bahkan sudah sangat sehat.
Maksud saya, untuk LT Merpati Nusantara Airlines juga dilakukan hal yang sama. Jangan diberi lagi uang dari negara. Sudah terlalu banyak uang negara tenggelam di situ.
Tanpa
restrukturisasi utang sulit Merpati diminta hidup lagi. Merpati
memiliki utang Rp 7,9 triliun. Bahkan akumulasi kerugiannya sudah
mencapai Rp 7,2 triliun. Karena itu melakukan restrukturisasi utang saja
tidak cukup. Harus pula dilakukan kuasi reorganisasi untuk
menghilangkan angka akumulasi kerugian yang begitu besar.
Setelah dua langkah itu dilakukan, barulah bisa dilakukan langkah besar ketiga: kerjasama operasi dengan perusahaan lain.
Tiga
langkah besar itu tidak bisa dilakukan hanya oleh menteri BUMN. Harus
secara bersamaan dilakukan oleh Menteri BUMN, Menteri Keuangan, Menteri
Perhubungan, dan Mensesneg. Tentu juga Menko Perekonomian. Dan prosesnya
harus melalui DPR , khususnya Komisi 6.
Karena itu saya salut pada Komisi 6 DPR
yang telah membentuk Panitia Kerja (Panja) Merpati. Inisiatif Komisi 6
yang begitu cepat sungguh tidak saya perkirakan sebelumnya. Semoga
Panja DPR di Komisi 6 itu menghasilkan yang terbaik untuk Merpati.
Khususnya
diberikannya lampu hijau untuk restrukturisasi utang dan kuasi
reorganisasi untuk mengatasi besarnya akumulasi kerugian.
Setelah
Merpati ini masih ada satu lagi yang belum menemukan jalan keluar yang
tuntas: PT Kertas Leces. Tapi waktunya sudah sangat mepet. PT IKI, PT
Garam, PT Perikanan, Perum Perikanan Indonesia, Istaka, Waskita, dan
banyak lagi BUMN sudah berhasil disehatkan.
Tapi PT Kertas Leces masih memusingkan. Saya ingin mengubahnya menjadi perusahaan energi, tapi waktu sudah tidak cukup.
http://www.merdeka.com/uang/dlloyd-setelah-lama-mati-suri.html
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Kolom Dahlan : D'Lloyd setelah lama mati suri"
Post a Comment