Mahkamah Arbitrase di Den Haag, Belanda, akan mengeluarkan putusan tentang wilayah perairan Laut Cina Selatan yang dipersengketakan Cina dan sejumlah negara Asia Tenggara, pada Selasa (12/07). Imbas putusan itu dinilai tak hanya mempengaruhi klaim wilayah Cina, tapi juga strategi militernya, sebagaimana diutarakan analis Alexander Neill.
Secara historis, proyek-proyek infrastruktur nasional Cina cenderung berskala raksasa. Tengok saja Tembok Besar Cina (yang merupakan karya beberapa abad lalu) dan Bendungan Tiga Ngarai (yang mulai dioperasikan pada 2012 lalu).
Di Laut Cina Selatan, proyek raksasa itu terwujud dalam bentuk serangkaian pulau buatan yang menampung sejumlah pangkalan militer di Laut Cina Selatan. Padahal, dua tahun lalu, ‘pulau-pulau’ itu tak lebih dari lahan berpasir dan terumbu yang tampak ketika air laut surut.
Mengapa Beijing bersusah payah menggelar pembangunan besar-besaran dalam waktu cepat di Laut Cina Selatan? Spekulasi mengemuka bahwa Cina sengaja mendirikan pulau-pulau buatan itudemi menciptakan ˜fait-accompliâ" atas putusan Mahkamah Arbitrase di Den Haag, Belanda, yang akan dikeluarkan pada Selasa (12/07).
Pembangunan pulau-pulau buatan di Laut Cina Selatan sejatinya punya dua fungsi, yakni memperkuat klaim kedaulatan Cina dan menjadi wadah keberadaan Cina di ranah militer dan sipil.
Cina berdalih bahwa pulau-pulau buatan tak hanya penting bagi sistem pertahanan, tapi juga kepentingan publik. Di Pulau Fiery Cross, Cina telah membangun mercu suar dan sebuah rumah sakit. Di masa mendatang bukan tidak mungkin Cina akan menempatkan kantor administratif pemerintahan di sana.
Kekhawatiran Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) akan rentannya strategi penggentar berkekuatan nuklir di daratan dan kemampuan meluncurkan serangan balasan kedua telah mendorong Cina untuk menempatkan beberapa hulu ledak nuklirnya di dalam kapal selam.
Dua tahun lalu, Cina mengerahkan kapal selam yang menampung 12 rudal balistik Jl-2 berhulu ledak nuklir untuk pertama kali.
Bertolak dari pangkalan militer dekat Sanya, di ujung selatan Pulau Hainan, kapal selam tersebut kini berpatroli di kedalaman Laut Cina Selatan. Namun, untuk bisa bersaing dengan Amerika Serikat, mereka harus bisa menembus Samudera Pasifik.
Sebagian besar perairan bagian selatan Cina agak dangkal, dengan kedalaman di bawah 100 meter. Akan tetapi, di perairan yang tercakup dalam wilayah yang diklaim Cina di Laut Cina Selatan, landas kontinennya mencapai kedalaman 4.000 meter, cocok bagi persembunyian kapal selam.
Itulah sebabnya sejumlah pakar meyani perairan dalam di Laut Cina Selatan, ditambah upaya Cina menangkal kapal selam asing di sana, amat mungkin menjadi basis kapal selam Cina pada masa mendatang.
Pada awal 2009, sejumlah kapal nelayan Cina berupaya memotong kabel penghubung peralatan sonar yang ditarik kapal pemantau AS, USNS Impeccable, di lepas pantai Pulau Hainan. Kemudian, pada akhir 2009, kapal selam Cina menghantam peralatan sonar bawah laut yang ditarik kapal perang AS, USS John McCain, di Subic Bay, lepas pantai Filipina.
Baru-baru ini, Cina meluncurkan kapal fregat tipe 056A, Quijing, yang memiliki peralatan pemburu kapal selam asing. Kapal ini akan ditempatkan di Laut Cina Selatan.
Seperti era Perang Dingin, tatkala AS dan para sekutunya menciptakan jaringan peralatan ‘menguping’ di dasar laut, yang terbenam di seluruh Asia untuk mendengarkan pergerakan kapal selam Rusia, China kini siap mengoperasikan jaringan serupa di Laut Cina Selatan.
Teknologi semacam itu amat mungkin menjadi mata dan telinga bagi kekuatan kapal selam pengangkut rudal balistik Cina, tidak hanya untuk menghindari deteksi tapi juga menyasar musuh.
Guna meresponsnya, Menteri Pertahanan AS, Ashton Carter, mengatakan Pentagon akan menginvestasikan US$8 miliar atau Rp105 triliun untuk memastikan kekuatan armada kapal selam, termasuk pengerahan drone bawah laut di kawasan Laut Cina Selatan.
http://dunia.news.viva.co.id/bbc/read/44546764-kapal-selam-dan-rivalitas-di-kedalaman-laut-cina-selatan
0 Response to "Kapal selam dan rivalitas di kedalaman Laut Cina Selatan"
Post a Comment