Kepulauan Nusantara telah lama menjadi kediaman bagi
ratusan populasi etnik dan budaya. Kini jumlahnya paling tidak sudah
lebih dari 500 populasi. Penduduknya juga menuturkan lebih dari 700
bahasa yang berbeda. Kenyataan ini sering kali memunculkan pertanyaan:
siapa sebenernya manusia Indonesia? Datang dari mana leluhurnya? Sejak
kapan mereka mendiami kawasan ini?
Secara geografis, kata Herawati, Kepulauan Nusantara
berperan penting sebagai penghubung daratan Asia dan Kepulauan Pasifik.
Dua model telah digunakan untuk menerangkan migrasi yang kemudian
membentuk populasi penghuni Asia Tenggara masa kini. Berdasarkan temuan
arkeologi, Asia Tenggara mulai dihuni manusia modern sekira
50.000-70.000 tahun lalu.
Studi genetik yang dilakukan oleh konsorsium HUGO-Pan
Asia memperlihatkan, semua populasi Asia Timur maupun Asia Tenggara
berasal dari gelombang pertama migrasi Out of Africa. Migrasi ini menyusuri jalur selatan sekira 40.000-60.000 tahun lalu. Sementara itu, berdasarkan model Out of Taiwan, penyebaran penutur Bahasa Austronesia terjadi sekira 5.000-7.000 tahun lalu.
Dalam pembentukannya menjadi manusia Indonesia, kata
Herawati, secara genetis terdapat empat gelombang migrasi yang
berkontribusi. Gelombang awal, nenek moyang datang 50.000 tahun lalu
melewati jalur selatan menuju Paparan Sunda yang ketika itu masih
menggabungkan Pulau Kalimantan, Sumatera, dan Semenanjung Malaya.
Cikal bakalnya, dalam pengembarannya, manusia modern (Homo sapiens)
dimulai dari Benua Afrika sekira 150.000 tahun lalu. Pada 30.000 tahun
kemudian, sekelompok manusia melakukan perjalanan ke utara melalui Mesir
dan Israel. Namun, jejak mereka hilang.
Kelompok lainnya, sekira 72.000 tahun lalu berpindah ke
bagian selatan semenanjung Arab menuju India. “Manusia non-Afrika,
termasuk kita, merupakan kelompok keturunan ini,” jelas Herawati.
Herawati melanjutkan, pada 40.000 tahun lalu ada dua
kejadian migrasi. Ada kelompok yang pindah ke utara dari Pakistan
melewati Sungai Indus dan bergerak ke Selat Bering. Inilah para penghuni
Benua Amerika yang sebenarnya baru dihuni kurang lebih 15.000 tahun
lalu. Jauh lebih muda dari penghuni Kepulauan Nusantara.
“Pada jalur lebih muda, memperlihatkan nenek moyang yang
berasal dari Afrika Timur pergi ke utara menyebar melalui lembah Sungai
Nil, Semenanjung Sinai atau melalui Laut Merah ke Saudi Arabia ke
selatan, melewati Indonesia sampai ke Australia,” papar Herawati.
Gelombang kedua adalah kontribusi dari Asia daratan. Ini
adalah kelompok yang menuturkan Bahasa Astroasiatik. Mereka berpindah
ke selatan masuk ke Nusantara dari daratan Asia melewati Semenanjung
Malaya. Saat itu, Semenanjung Malaya masih menyatu dengan Pulau Sumatera
dan Kalimantan.
Gelombang ketiga merupakan ekspansi dari utara. Pada
periode sekira 4.000 tahun lalu mereka bermigrasi dari daerah Cina
Selatan, menyebar ke Taiwan, Filipina, sampai ke Sulawesi, dan
Kalimantan. Mereka inilah yang membawa Bahasa Austronesia. Diaspora
Austronesia ini terjadi mulai dari Madagaskar hingga ke Pulau Paskah di
dekat Amerika.
“Kalau lihat dari bahasanya, bahasa yang kebanyakan
dipakai sekarang adalah Bahasa Austronesia. Kita adalah mereka yang
berbahasa Austronesia,” jelasnya.
Gelombang keempat terjadi pada zaman sejarah. Ini termasuk periode Indianisasi dan Islamisasi di Kepulauan Nusantara.
Empat gelombang migrasi yang melalui Kepulauan Nusantara
itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya keragaman pada masa kini. Tapi
seberapa jauh pembauran yang ada?
Herawati membuktikannya melalui studi genetika. Dia
melakukan rekonstruksi dari 50.000 tahun pergerakan populasi manusia
Nusantara dengan melibatkan 70 populasi etnik dari 12 pulau menggunakan
penanda DNA.
Berdasarkan sampel penanda DNA mitokondria yang hanya
diturunkan melalui garis ibu, diketahui periode hunian awal di Kepulauan
Nusantara berkisar antara 70.000-50.000 tahun lalu. Sementara analisis
penanda kromosom Y yang hanya diturunkan dari garis ayah memperlihatkan
adanya bukti pembauran beberapa leluhur genetik.
“Pembauran makin jelas dengan menggunakan penanda
genetik yang ditemukan dalam inti sel, yaitu DNA autosom, yang
diturunkan dari kedua orang tua,” jelas Herawati.
Penelitian tersebut menguak populasi etnik yang mendiami
Indonesia bagian barat dan timur memiliki gradasi pembauran genetik.
“Nenek moyang penutur Austro-asiatik di Asia Tenggara yang terungkap
dari data genomik menunjukkan adanya migrasi Austronesia ke jalur barat
yang bercampur dengan penutur Austro-asiatik dan kemudian menetap di
Indonesia barat,” ujarnya.
Misalnya, gen manusia Jawa asli ternyata membawa gen
Austro-asiatik dan Austronesia. Begitu pula manusia etnis Dayak dan
manusia di Pulau Sumatera yang tampak pada etnis Batak Toba dan Batak
Karo.
Sedangkan penduduk asli Pulau Alor membawa genetika
Papua. Manusia asli Lembata dan Suku Lamaholot, Flores Timur, membawa
genetika Papua dengan persentase paling tinggi dan sedikit genetika
bangsa penutur Austronesia. Ini dibuktikan dari penggunaan bahasanya. Di
Indonesia timur hingga kini memakai bahasa non-Austronesia atau Bahasa
Papua. Berbeda dengan Indonesia bagian barat yang memang bertutur Bahasa
Austronesia.
“Latar belakang genetis itu bergradasi. Dari barat
Austronesia yang dominan, lalu gen Papua dimulai dari NTT, Alor, dan
seterusnya. Dengan gambaran ini kita baru bisa bicara tentang diri
sendiri,” jelas Herawati.
Lalu bagimana menjelaskan adanya perbedaan fisik,
seperti kulit misalnya? Dia menjelaskan, dalam pengembaraan para nenek
moyang hingga ke Nusantara, mereka banyak menemui kondisi lingkungan
yang berubah-ubah. Lingkungan, seperti hutan, padang pasir yang kering,
pinggir pantai yang bersuhu tinggi dan berkadar garam tinggi, sinar
ultraviolet, dapat menciptakan variasi DNA. “Pigmentasi itu ada kodenya
oleh DNA,” ucapnya. Bagaimana kemudian kondisi itu bisa menciptakan
warna kulit, bahkan perbedaan jenis rambut, penelitian mengenai itu
hingga kini masih berlanjut.
Menurut Herawati, melalui penelitian genetika, kita
mengetahui migrasi manusia sampai ke Nusantara yang menjadi nenek moyang
orang Indonesia. Agaknya tak mungkin melabeli kelompok tertentu sebagai
manusia asli Indonesia. Sebab, tak ada pemilik gen murni di Nusantara.
“Manusia Indonesia adalah campuran beragam genetika, yang pada awalnya
berasal dari Afrika,” tegas Herawati.
http://historia.id/kuno/manusia-indonesia-adalah-campuran-beragam-genetika/2#detail-article
0 Response to "Manusia Indonesia adalah Campuran Beragam Genetika"
Post a Comment