Waktu tahun lalu Pertamina
diberitakan di luar negeri sebagai perusahaan pertama dari Indonesia
yang berhasil masuk Fortune Global 500, saya ditanya wartawan:
T: Apa perasaan Anda?
Jawab saya: Terkejut, bangga, dan sedih.
T: Mengapa sedih?
J: Peringkatnya terlalu baik hahaha...
T: Seharusnya peringkat berapa?
J:
Ekspektasi saya di peringkat 400-an dululah. Baru kian tahun kian
meningkat. Bukan sekali masuk langsung di peringkat 122 begini. Terlalu
baik hehe... Bisa menekan direksi Pertamina terlalu keras.
Tentu kebanggaan saya lebih besar dari kesedihan (pura-pura) saya. Pertamina
yang begitu lama jadi bulan-bulanan akhirnya bisa sangat profesional
dan berhasil masuk Fortune Global 500. Tapi yang saya sedihkan
benar-benar terjadi. Tahun ini peringkat Pertamina turun satu tangga menjadi 123.
Tentu
saya tidak kaget dan tidak sedih. Meski turun, turunnya hanya satu
tangga. Meski turun toh masih di papan 100-200. Masih sangat terhormat.
Bahkan masih sangat sulit untuk mempertahankannya. Terutama karena
ekonomi USA kian baik. Tentu akan banyak perusahaan di sana yang segera
membesar. Ekonomi AS bangkit karena mendapat "stimulus" yang luar biasa:
harga energi yang yang tiba-tiba murah sejak ditemukannya gas di
celah-celah bebatuan.
Ke depan kemungkinan penurunan peringkat Pertamina masih akan terjadi. Bukan lantaran kinerja Pertamina
merosot melainkan lebih melonjaknya kinerja perusahaan-perusahaan di AS
atau Jerman atau Jepang atau Tiongkok. Tentu balapan tingkat dunia itu
akan terus menghantui Pertamina.
Karena itu kewajiban kita semua untuk memberikan iklim yang terus kian profesional kepada Pertamina. Termasuk dukungan untuk membuatnya kian steril dari berbagai intervensi kepentingan non-korporasi. Saya melihat ekspansi Pertamina di Aljazair sebagaimana yang saya tulis di Manufacturing Hope sebelumnya, bisa menjadi salah satu alat bagi Pertamina untuk balapan di tingkat dunia itu.
Saya
juga lagi menunggu dengan berdebar proyek besar yang satu ini:
penggelaran pipa gas dari Arun ke Medan. Tanpa APBN. Mestinya, tiga
bulan lagi selesai. Kemajuan pengerjaannya sesuai dengan target. Saya
sudah sampaikan kepada Karen Agustiawan harapan saya agar proyek ini selesai 15 Oktober depan. Atau lima hari sebelum masa jabatan saya berakhir.
Ini
akan bisa menghemat uang negara Rp 4 triliun per tahun. Ini akan
mengakhiri sejarah panjang pemakaian BBM untuk membangkitkan listrik di
Medan. Ini juga sekaligus mengatasi ketiadaan gas untuk industri di
seluruh Medan. Lebih dari itu instalasi raksasa LNG Arun yang sudah
nganggur bisa segera dimanfaatkan.
Kemarin saya langsung mengontak Menteri ESDM Jero Wacik.
Untuk bisa memutuskan alokasi gas untuk dialirkan melalui pipa ini ke
Medan. Pak Wacik pun langsung merespon. "Saya bereskan. Banyak hal ribet
begini bisa saya bereskan. Contohnya gas Tangguh itu," katanya.
Alhamdulillah.
Proyek pipa gas Arun-Medan ini akan menjadi agenda 100 hari terakhir pemerintahan Pak SBY.
Tentu saya juga mengucapkan selamat kepada direksi PLN. Perusahaan "Lilin" Negara (karena dirinya sendiri sering terbakar untuk menerangi orang lain) itu menyusul Pertamina masuk Fortune Global 500. Peringkatnya pun tidak membuat saya sedih: 477. Terus terang saya kaget PLN sudah begitu besarnya untuk ukuran dunia.
"Anda hebat Pak Nur. Anda telah tercatat, di masa Anda jadi dirutlah PLN masuk Fortune Global 500," tulis saya untuk Nur Pamuji, Dirut PT PLN. Ini tentu akan jadi riwayat hidup yang manis. Terutama untuk direksi PLN yang tahun ini akan habis masa baktinya.
Saya
melihat masih ada tiga lagi BUMN yang memiliki potensi untuk masuk
Fortune Global 500 dalam dua tahun ke depan. Tentu mereka memerlukan
dukungan yang kuat. Terutama untuk bisa melakukan aksi-aksi korporasi
yang mereka perlukan. Direksi mereka sangat mampu. Asal tidak banyak
diintervensi.
http://www.merdeka.com/uang/iklim-prof-untuk-balapan-tingkat-dunia.html
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Iklim prof untuk balapan tingkat dunia"
Post a Comment